Thursday, 23 June 2016
CARA MENGATASI LITERASI DI SEKOLAH
Strategi Membangun Iklim Literasi di Sekolah
Lingkungan Fisik | Checklist | |
1 | Karya siswa dipajang di sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, BK). | |
2 | Karya siswa dirotasi secara berkala untuk memberi kesempatan yang seimbangan kepada semua siswa. | |
3 | Buku dan materi bacaan lain tersedia dengan mudah di pojok-pojok baca di semua ruang kelas. | |
4 | Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk siswa dan orang-tua/pengunjung di kantor dan ruangan selain ruang kelas. | |
5 | Kantor kepala sekolah memajang karya siswa dan buku bacaan untuk anak. | |
6 | Kantor kepala sekolah mudah diakses oleh staf. | |
Lingkungan Sosial dan Afektif | ||
1 | Penghargaan terhadap prestasi siswa (akademik dan non akademik) diberikan secara rutin (tiap minggu/bulan). Upacara hari Senin adalah salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan. | |
2 | Kepala sekolah mengenali siswa bila masuk ruang kelas (bukan hanya siswa yang berprestasi atau dianggap bermasalah). | |
3 | Kepala sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi. | |
4 | Literasi dirayakan sepanjang tahun pelajaran. | |
5 | Ada budaya kerja sama kolaboratif antar guru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-masing (dan tidak saling menjatuhkan). | |
6 | Disediakan waktu memadai untuk staf agar bisa berkolaborasi menjalankan program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya. | |
7 | Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program literasi. | |
Lingkungan Akademik | ||
1 | Ada tim literasi yang bertugas melakukan asesmen dan perencanaan. Bila diperlukan, ada pendampingan dari pihak eksternal. | |
2 | Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi (Sustained Silent Reading (kegiatan membaca senyap), diskusi buku, show-and-tell presentation) | |
3 | Waktu literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain yang dianggap tidak perlu. | |
4 | Disepakati waktu berkala untuk tim literasi membahas pelaksanaan program literasi sekolah. | |
5 | Buku fiksi dan non fiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita fiksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan. | |
6 | Ada kesempatan pengembangan professional tentang literasi yang diberikan untuk staf, dengan kerja sama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, sharing dengan sekolah lain) | |
7 | Seluruh komunitas sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun komunitas yang suka belajar. |
Strategi di atas bisa diadaptasi, sesuai dengan situasi dan kondisi
sekolah. Namun pada dasarnya, aspek-aspek yang disebutkan adalah
karakteristik yang perlu dipenuhi dalam pengembangan budaya literasi di
sekolah. Dilaksanakan satu-persatu, dengan kerja-sama antara guru dan
pimpinan sekolah, maka kita bisa bermimpi suatu saat Indonesia akan
menjadi bangsa yang literat.
Bila Anda seorang guru, ajaklah pimpinan sekolah untuk membaca
strategi ini. Bila Andalah pimpinannya, inilah saat tepat untuk
melangkah.
Adaptasi dari: Beers, C, et al. (2009). A Principal’s Guide to Literacy Instruction. New York: The Guilford Press
Literasi Sekolah dan Budi Pekerti
Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
telah mencanangkan gerakan penumbuhan budi pekerti di sekolah. Gerakan
ini dianggap sebagai solusi dari sekian persoalan yang ada di pendidikan
kita. Pemerintah menilai, persoalan moralitas dan semakin hilangnya
budi pekerti yang ada di bangsa ini bisa diselesaikan melalui
pendidikan. Karena itulah, program penumbuhan budi pekerti digalakkan di
sekolah. Salah satu di antara program penumbuhan budi pekerti di
sekolah yakni menciptakan gerakan literasi di sekolah. Melalui aktivitas
dan pembiasaan membaca sebelum pelajaran dimulai, anak-anak di ajak
untuk menekuni kembali dan dikenalkan kembali kepada aktivitas literasi
salah satunya membaca buku.
Buku yang dibaca di antaranya adalah buku cerita rakyat, dongeng dan hikayat yang ada di seluruh nusantara ini. Melalui gerakan membaca itu, anak-anak diharapkan semakin memiliki kecintaan membaca buku. Pasalnya kita tahu, anak-anak kita selama ini lebih asyik dengan aktivitas bermain yang lebih tertantang seperti permainan berbau teknologis ataupun menonton televisi daripada membaca buku. Dokter Spock, MD pakar pendidikan anak dari amerika pernah menuliskan dalam bukunya Pertumbuhan dan Bimbingan bagi kanak-kanak(1961) : “Dahulu dalam waktu jang terluang biasa bermain setjara aktif, dan mereka biasanja lebih suka berlari-lari diluar karena disana lebih banjak kebebasan dan lebih banjak kawan. Sekarang televisi telah mengikat anak2 didalam rumah dan mengikat mereka dengan kursi untuk rata2 duapuluh djam tiap minggunja”.
Hampir di setiap rumah di keluarga kita memiliki televisi. Melalui televisi itulah, ruang bermain anak menjadi semakin sempit. Anak-anak tak lagi banyak menggerakkan tubuh mereka, apalagi pikiran mereka. Sering kali televisi menyedot kesadaran anak-anak kita, sehingga ketika kita memanggil mereka, mereka terkadang tidak menyahut. Hal ini merupakan bukti bahwa kesadaran anak bisa menjadi semakin hilang tatkala mereka terbius oleh tayangan televisi. Bila frekuensi menonton televisi anak-anak kita tidak diatur, tentu aktivitas membaca menjadi semakin minim di rumah-rumah.
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan sebagai sarana penumbuhan budi pekerti yang digagas oleh Kemendikbud menjadi salah satu cara agar anak-anak kita kembali menyenangi buku. Melalui cerita rakyat atau dongeng,serta hikayat masa lampau itulah anak-anak diharapkan semakin bijak dan semakin tumbuh menjadi anak-anak yang beradab. Hal ini tentu juga sejalan dengan apa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang menanamkan adab. Adab disini diartikan sebagai keharusan manusia untuk menuntut ketjerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinja, serta bersama-sama dengan masjarakatnja, jang berada dalam satu lingkungan alam dan zaman (Asas-asas dan Dasar Taman Siswa, 1964).
Kekuatan sekolah untuk membentuk kelakuan seorang anak sampai saat ini masih diakui. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak kita. Melalui sekolah itulah, tanggung jawab guru dan pengelola sekolah amat berat. Sekolah telah menggantikan beban dan tanggung jawab orang tua kita di rumah. Hampir tak bisa dipungkiri, pendidikan resmi di negeri ini masih menjadi pilihan utama sebagian rakyat kita. Karena itulah, tanggung jawab sekolah dalam membina dan mengembangkan budi pekerti anak menjadi penting. Sebab krisis bangsa yang selama ini terjadi salah satunya adalah karena kegagalan kita melahirkan generasi yang beradab dan berbudi pekerti luhur. Menurut Dr. Dzakiah Daradjat (1976) ada lima hal yang menjadi sebab kemerosotan moral yang ada di negeri ini. Pertama, kurangnya pembinaan mental. Kedua, kurangnya pengenalan terhadap nilai moral Pancasila. Ketiga, keguncangan suasana dalam masyarakat. Keempat, kurang jelasnya hari depan di mata anak muda. Kelima, pengaruh kebudayaan asing.
Apa yang dilakukan pemerintah melalui Kemendikbud dengan gerakan literasi sekolah sebagai sarana penumbuhan budi pekerti adalah usaha mengembalikan pendidikan kita kepada kultur. Sebagaimana kultur kita yang khas dengan budaya timur yang lekat dengan adab dan keadaban. Selama ini anak-anak kita justru disuguhi bacaan komik dari asing, hal ini tentu menjadi ironis. Mengingat kita memiliki banyak cerita rakyat dan hikayat yang tak kalah menarik, dan tentu memiliki nilai-nilai moral yang bisa dijadikan pelajaran untuk anak-anak kita.
Tentu kita tahu film anak Pada Jaman Dahulu cerita kancil yang bijak, setidaknya cerita-cerita kancil yang ada di film itu adalah bagian dari khazanah kebudayaan melayu, kebudayaan kita. Teramat sayang bila anak-anak lebih menyukai kartun dan film dari luar yang justru tak lekat dengan nilai-nilai lokalitas dan ajaran moralitas. Sebagai guru dan pengelola sekolah, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengenalkan kembali khazanah kebudayaan kita. Sebab pendidikan kita sejatinya adalah pendidikan nasional yang berdasarkan nilai-nilai kebudayaan nasional pula. Karena itulah, Ki Hajar Dewantara perintis pendidikan nasional kita tak pernah memisahkan antara pendidikan dan kebudayaan. Sebab menjadi manusia terdidik sudah tentu menjadi manusia yang berbudaya.
Buku yang dibaca di antaranya adalah buku cerita rakyat, dongeng dan hikayat yang ada di seluruh nusantara ini. Melalui gerakan membaca itu, anak-anak diharapkan semakin memiliki kecintaan membaca buku. Pasalnya kita tahu, anak-anak kita selama ini lebih asyik dengan aktivitas bermain yang lebih tertantang seperti permainan berbau teknologis ataupun menonton televisi daripada membaca buku. Dokter Spock, MD pakar pendidikan anak dari amerika pernah menuliskan dalam bukunya Pertumbuhan dan Bimbingan bagi kanak-kanak(1961) : “Dahulu dalam waktu jang terluang biasa bermain setjara aktif, dan mereka biasanja lebih suka berlari-lari diluar karena disana lebih banjak kebebasan dan lebih banjak kawan. Sekarang televisi telah mengikat anak2 didalam rumah dan mengikat mereka dengan kursi untuk rata2 duapuluh djam tiap minggunja”.
Hampir di setiap rumah di keluarga kita memiliki televisi. Melalui televisi itulah, ruang bermain anak menjadi semakin sempit. Anak-anak tak lagi banyak menggerakkan tubuh mereka, apalagi pikiran mereka. Sering kali televisi menyedot kesadaran anak-anak kita, sehingga ketika kita memanggil mereka, mereka terkadang tidak menyahut. Hal ini merupakan bukti bahwa kesadaran anak bisa menjadi semakin hilang tatkala mereka terbius oleh tayangan televisi. Bila frekuensi menonton televisi anak-anak kita tidak diatur, tentu aktivitas membaca menjadi semakin minim di rumah-rumah.
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan sebagai sarana penumbuhan budi pekerti yang digagas oleh Kemendikbud menjadi salah satu cara agar anak-anak kita kembali menyenangi buku. Melalui cerita rakyat atau dongeng,serta hikayat masa lampau itulah anak-anak diharapkan semakin bijak dan semakin tumbuh menjadi anak-anak yang beradab. Hal ini tentu juga sejalan dengan apa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang menanamkan adab. Adab disini diartikan sebagai keharusan manusia untuk menuntut ketjerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinja, serta bersama-sama dengan masjarakatnja, jang berada dalam satu lingkungan alam dan zaman (Asas-asas dan Dasar Taman Siswa, 1964).
Kekuatan sekolah untuk membentuk kelakuan seorang anak sampai saat ini masih diakui. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak kita. Melalui sekolah itulah, tanggung jawab guru dan pengelola sekolah amat berat. Sekolah telah menggantikan beban dan tanggung jawab orang tua kita di rumah. Hampir tak bisa dipungkiri, pendidikan resmi di negeri ini masih menjadi pilihan utama sebagian rakyat kita. Karena itulah, tanggung jawab sekolah dalam membina dan mengembangkan budi pekerti anak menjadi penting. Sebab krisis bangsa yang selama ini terjadi salah satunya adalah karena kegagalan kita melahirkan generasi yang beradab dan berbudi pekerti luhur. Menurut Dr. Dzakiah Daradjat (1976) ada lima hal yang menjadi sebab kemerosotan moral yang ada di negeri ini. Pertama, kurangnya pembinaan mental. Kedua, kurangnya pengenalan terhadap nilai moral Pancasila. Ketiga, keguncangan suasana dalam masyarakat. Keempat, kurang jelasnya hari depan di mata anak muda. Kelima, pengaruh kebudayaan asing.
Apa yang dilakukan pemerintah melalui Kemendikbud dengan gerakan literasi sekolah sebagai sarana penumbuhan budi pekerti adalah usaha mengembalikan pendidikan kita kepada kultur. Sebagaimana kultur kita yang khas dengan budaya timur yang lekat dengan adab dan keadaban. Selama ini anak-anak kita justru disuguhi bacaan komik dari asing, hal ini tentu menjadi ironis. Mengingat kita memiliki banyak cerita rakyat dan hikayat yang tak kalah menarik, dan tentu memiliki nilai-nilai moral yang bisa dijadikan pelajaran untuk anak-anak kita.
Tentu kita tahu film anak Pada Jaman Dahulu cerita kancil yang bijak, setidaknya cerita-cerita kancil yang ada di film itu adalah bagian dari khazanah kebudayaan melayu, kebudayaan kita. Teramat sayang bila anak-anak lebih menyukai kartun dan film dari luar yang justru tak lekat dengan nilai-nilai lokalitas dan ajaran moralitas. Sebagai guru dan pengelola sekolah, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengenalkan kembali khazanah kebudayaan kita. Sebab pendidikan kita sejatinya adalah pendidikan nasional yang berdasarkan nilai-nilai kebudayaan nasional pula. Karena itulah, Ki Hajar Dewantara perintis pendidikan nasional kita tak pernah memisahkan antara pendidikan dan kebudayaan. Sebab menjadi manusia terdidik sudah tentu menjadi manusia yang berbudaya.
Tantangan
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud menjadi tantangan bagi guru dan sekolah-sekolah kita. Pasalnya, selama ini kegiatan literasi di sekolah hanya diberi ruang ketika anak-anak istirahat. Bahkan boleh dibilang hampir tidak ada. Majalah dinding dan juga bulletin sekolah selama ini hanya dijadikan sebagai ajang promosi sekolah semata. Padahal, melalui bulletin, majalah dan media sekolah itulah anak-anak bisa belajar berliterasi bersama sekolah. Di samping itu, kita juga dihadapkan oleh kurangnya fasilitas sekolah yang menunjang. Perpustakaan sekolah selama ini kurang mendapat perhatian dari para guru dan pengelola sekolah. Perpustakaan sekolah sering diperbaiki dan direnovasi hanya ketika menjelang akreditasi sekolah. Paska akreditasi sekolah, perpustakaan dibiarkan merana dan mati.
Beberapa fenomena di atas adalah persoalan klasik yang menjadi tantangan dan hambatan bagi gerakan literasi di sekolah kita. Bila sekolah dan pengelola tak mampu untuk mengatasi tantangan tersebut, maka mustahil gerakan literasi dan penumbuhan budi pekerti bisa berjalan dengan baik. Selain itu, gerakan literasi sekolah juga tak bisa dilepaskan dari sumber daya manusia yang ada di sekolah kita. Guru-guru yang enerjik, yang memiliki etos belajar tinggi serta memiliki etos literasi tinggi akan sangat mendukung dalam program ini. Mereka bisa membacakan cerita bersama anak setiap harinya agar anak semakin bijak dan bajik.
Rasanya percuma sekolah memiliki sarana dan fasilitas teknologi yang memadai bila tak didukung oleh sumber daya manusianya utamanya : guru. Guru tetap memegang peranan penting dalam keberhasilan gerakan literasi sekolah. Kita tak bisa memungkiri, kualitas pendidikan kita di masa lampau jauh lebih berkembang dengan didukung oleh kemampuan guru yang begitu fasih dalam hal verbal maupun literal. Kemampuan inilah yang selama ini kurang di guru-guru kita sekarang. Bila guru-guru kita sekarang ini tak memiliki kemampuan verbal dan literal yang baik, tentu program literasi sekolah hanya sekadar mimpi dan cita-cita belaka. Begitu.
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud menjadi tantangan bagi guru dan sekolah-sekolah kita. Pasalnya, selama ini kegiatan literasi di sekolah hanya diberi ruang ketika anak-anak istirahat. Bahkan boleh dibilang hampir tidak ada. Majalah dinding dan juga bulletin sekolah selama ini hanya dijadikan sebagai ajang promosi sekolah semata. Padahal, melalui bulletin, majalah dan media sekolah itulah anak-anak bisa belajar berliterasi bersama sekolah. Di samping itu, kita juga dihadapkan oleh kurangnya fasilitas sekolah yang menunjang. Perpustakaan sekolah selama ini kurang mendapat perhatian dari para guru dan pengelola sekolah. Perpustakaan sekolah sering diperbaiki dan direnovasi hanya ketika menjelang akreditasi sekolah. Paska akreditasi sekolah, perpustakaan dibiarkan merana dan mati.
Beberapa fenomena di atas adalah persoalan klasik yang menjadi tantangan dan hambatan bagi gerakan literasi di sekolah kita. Bila sekolah dan pengelola tak mampu untuk mengatasi tantangan tersebut, maka mustahil gerakan literasi dan penumbuhan budi pekerti bisa berjalan dengan baik. Selain itu, gerakan literasi sekolah juga tak bisa dilepaskan dari sumber daya manusia yang ada di sekolah kita. Guru-guru yang enerjik, yang memiliki etos belajar tinggi serta memiliki etos literasi tinggi akan sangat mendukung dalam program ini. Mereka bisa membacakan cerita bersama anak setiap harinya agar anak semakin bijak dan bajik.
Rasanya percuma sekolah memiliki sarana dan fasilitas teknologi yang memadai bila tak didukung oleh sumber daya manusianya utamanya : guru. Guru tetap memegang peranan penting dalam keberhasilan gerakan literasi sekolah. Kita tak bisa memungkiri, kualitas pendidikan kita di masa lampau jauh lebih berkembang dengan didukung oleh kemampuan guru yang begitu fasih dalam hal verbal maupun literal. Kemampuan inilah yang selama ini kurang di guru-guru kita sekarang. Bila guru-guru kita sekarang ini tak memiliki kemampuan verbal dan literal yang baik, tentu program literasi sekolah hanya sekadar mimpi dan cita-cita belaka. Begitu.
Program Literasi
Contoh Program Literasi Sekolah Rancangan Seimbang Strategi Pembelajaran
Contoh program literasi sekolah ini merupakan komponen agar terselenggaranya kegiatan literasi terencana dan sistematis dengan memperhatikan faktor serta kondisi lingkungan sekolah setempat.
Program literasi yang seimbang didesain dengan memperhatikan beragam strategi pembelajaran, pemilihan bahan sesuai dengan kebutuhan dan guru yang responsif. Keterampilan literasi siswa sangat berpengaruh terhadap pencapaian akademiknya. Semakin baik literasi siswa,akan semakin baik pula pencapaian akademiknya.
Keterampilan Literasi adalah keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis Keterampilan literasi akan berkembang melalui pembiasaan. Kegiatan yang beragam dapat memotivasi siswa untuk menyenangi literasi.
Program Literasi Seimbang
- Pemodelan membaca
- Membaca terbimbing
- Membaca bersama
- Membaca pemahaman
TAHAPAN PEMBIASAAN LITERASI DISEKOLAH
Kegiatan literasi selama ini
identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun
2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi
dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang
terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).
Deklarasi UNESCO itu juga
menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk
mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara
efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk
mengatasi berbagai persoalan. Kemampuankemampuan itu perlu dimiliki tiap
individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan
itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan
merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan
melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta
didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang
dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku
kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan Literasi Sekolah adalah
gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh
untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini
dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga
sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target
sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke
tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum
2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan
reseptif maupun produktif.
Dalam pelaksanaannya, pada
periode tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan Gerakan
Literasi Sekolah dapat diketahui dan terus-menerus dikembangkan. Gerakan
Literasi Sekolah diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku
kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan
menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan.
Literasi lebih dari sekadar
membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan
sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di
abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi.
Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf)
menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini,
literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan
literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai
dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen literasi tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1. Literasi Dini [Early
Literacy (Clay, 2001)], yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan,
dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman peserta didik
dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi
dasar.
2. Literasi Dasar (Basic
Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan
menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan
(calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta
menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan
kesimpulan pribadi.
3. Literasi Perpustakaan
(Library Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan
fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami
Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam
menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga
memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan
sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.
4. Literasi Media (Media
Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda,
seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media
digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.
5. Literasi Teknologi
(Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti
teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta
etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam
memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
Dalam prak- tiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy)
yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan
mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan
membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan
pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.
6. Literasi Visual (Visual
Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi
teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat.
Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,
auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan
yang benarbenar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
Menurut Beers (2009),
praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan
prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perkembangan literasi
berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi. Tahap perkembangan
anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan antartahap
perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta didik dapat membantu
sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat
sesuai kebutuhan perkembangan mereka.
b. Program literasi yang baik
bersifat berimbang Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari
bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu,
strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan
dengan jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan
dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk
anak dan remaja.
c. Program literasi
terintegrasi dengan kurikulum Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah
adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran
mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan
demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan
kepada guru semua mata pelajaran.
d. Kegiatan membaca dan menulis
dilakukan kapanpun Misalnya, ‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca
untuk ibu’ merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.
e. Kegiatan literasi
mengembangkan budaya lisan Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan
memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama
pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan
untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta
didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling
mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.
f. Kegiatan literasi perlu
mengembangkan kesadaran terhadap keberagaman Warga sekolah perlu menghargai
perbedaan melalui kegiatan literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta
didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan
pada pengalaman multikultural.
Agar sekolah mampu menjadi
garis depan dalam pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A
Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk
menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah.
a. Mengkondisikan lingkungan
fisik ramah literasi Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan
dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah
dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya
literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area
sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu,
karyakarya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan
bahan bacaan lain di Sudut Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di
sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan memberikan
kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.
b. Mengupayakan lingkungan
sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi
seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas
capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan
saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di
semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan
upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan
untuk memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat
mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa
direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval
tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif
dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif
antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat terlibat
sesuai kepakaran masing-masing. Peran orang tua sebagai relawan gerakan
literasi akan semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya
literasi.
c. Mengupayakan sekolah sebagai
lingkungan akademik yang literat Lingkungan fisik, sosial, dan afektif
berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan
dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan
alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya
dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan
nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang
kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti
program pelatihan tenaga kependidikan untuk peningkatan pemahaman tentang
program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.
Program Gerakan Literasi
Sekolah dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah
di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah
(ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan
warga sekolah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik,
dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan).
Berikut ini tahapan Gerakan
Literasi Sekolah
1. Tahap ke-1: Pembiasaan
kegiatan membaca yang menyenangkan di ekosistem sekolah Pembiasaan ini
bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca
dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi
pengembangan kemampuan literasi peserta didik.
2. Tahap ke-2: Pengembangan
minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi Kegiatan literasi pada tahap
ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan
pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara
kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol,
2001).
3. Tahap ke-3: Pelaksanaan
pembelajaran berbasis literasi Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan
mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman
pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif
melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran (cf.
Anderson & Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya
akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap ini untuk
mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca
buku nonteks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum,
kegemaran, minat khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan
mata pelajaran tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP,
dan 18 buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran
ini disediakan oleh wali kelas.
Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya
dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama
ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang
telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata
pelajaran agama, kwarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun
bahasa daerah). Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi
pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Strategi ketiga ialah dengan
mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan
atau direncanakan. Dan strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi
dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.
Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan budi pekerti dalam
kegiatan sehari-hari, secara teknis dapat dilakukan melalui:
a. Keteladanan
Dalam kegiatan sehari-hari guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan
juga pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi muridmurid di sekolah. Sebagai misal, jika guru ingin mengajarkan kesabaran kepada
siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar
dihadapan murid-muridnya. Begitu juga ketika guru hendak mengajarkan tentang
pentingnya kedisiplinan kepada murid-muridnya, maka guru tersebut harus
mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam
menjalankan tugas pekerjaannya. Tanpa keteladanan, murid-murid hanya akan
menganggap ajakan moral yang disampaikan sebagai sesuatu yang omong kosong
belaka, yang pada akhirnya nilai-nilai moral yang diajarkan tersebut hanya akan
berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa makna.
b. Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada
saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui
sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik, seperti berkelahi dengan
temannya, meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding, mengambil
barang milik orang lain, berbicara kasar, dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa
yang spontan tersebut, guru dapat menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti
yang baik kepada para siswa, misalnya saat guru melihat dua orang siswa yang
bertengkar/berkelahi di kelas karena memperebutkan sesuatu, guru dapat
memasukkan nilai-nilai tentang pentingnya sikap maaf-memaafkan, saling
menghormati, dan sikap saling menyayangi dalam konteks ajaran agama dan juga
budaya.
c. Teguran.
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan
mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat
membantu mengubah tingkah laku mereka. d. Pengkondisian lingkungan. Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik yang dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti. Contohnya ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap peserta didik. e. Kegiatan rutin. Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas tempat belajar. Selanjutnya, untuk strategi pengintegrasian pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan, dapat direncanakan oleh guru melalui berbagai kegiatan seperti: bakti sosial, kegiatan cinta lingkungan, kunjungan sosial ke panti jompo atau yayasan yatim piatu atau yayasan anak cacat. Kegiatan ini penting dilakukan guna memberikan pengalaman langsung serta pemahaman dan penghayatan nyata atas prinsip-prinsip moral yang telah ditanamkan guru kepada peserta didik. Dengan berbagai kegiatan tersebut, diharapkan pendidikan budi pekerti tidak hanya berhenti pada aspek kognitif saja, melainkan juga mampu menyentuh aspek afektif, dan psikomotor peserta didik. Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai. Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di ajarkan di sekolah denganapa yang ajarkan orang tua di rumah. Selain itu, agar pendidikan budi pekerti di sekolah dan di rumah dapat berjalan searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid hendaknya juga dilibatkan dalam proses identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di sekolah. Dengan pelibatan orang tua murid dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di sekolah, diharapkan orang tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di keluarga.
Hambatan dalam penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah
Hambatan dalam penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah
Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada
peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah,
sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai.
Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di
sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu
membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan
berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah
dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi
singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di ajarkan
di sekolah dengan apa yang ajarkan orang tua di rumah.
Selain itu, agar pendidikan budi pekerti di sekolah dan di
rumah dapat berjalan searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid
hendaknya juga dilibatkan dalam proses identifikasi kebutuhan program pendidikan
budi pekerti di sekolah.
Dengan pelibatan orang tua murid dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di
sekolah, diharapkan orang tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi juga dapat ikut serta
mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di
keluarga.
a.
Dirumah dan keluarga
Sejak masa kecil dalam bimbingan orang tua, mulai ditanamkan pengertian baik dan benar seperti etika, tradisi lewat dongeng, dolanan/permainan anak-anak yang merupakan cerminan hidup bekerjasama dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan.
Sejak masa kecil dalam bimbingan orang tua, mulai ditanamkan pengertian baik dan benar seperti etika, tradisi lewat dongeng, dolanan/permainan anak-anak yang merupakan cerminan hidup bekerjasama dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan.
Berperilaku yang baik dalam keluarga amat penting bagi
pertumbuhan sikap anak selanjutnya. Dari kecil sudah terbiasa menghormat orang
tua atau orang yang lebih tua, misalnya : jalan sedikit membungkuk jika
berjalan didepan orang tua dan dengan sopan mengucap : nuwun sewu (
permisi), nderek langkung ( perkenankan lewat sini).
Selain berperilaku halus dan sopan, juga berbahasa yang
baik untuk menghormati sesama, apakah itu bahasa halus ( kromo) atau ngoko
( bahasa biasa). Bahasa Jawa yang bertingkat bukanlah hal yang rumit, karena
unggah ungguh basa( penggunaan bahasa menurut tingkatnya) adalah sopan
santun untuk menghormat orang lain.
b.
Esensi Budi Pekerti, secara tradisional mulai ditanamkan sejak masa kanak-kanak,
baik dirumah maupun disekolah, kemudian berlanjut dalam kehidupan dimasyarakat.
Lingkup kegiatan PBP
1. Internalisasi nilai-nilai moral dan spiritual
Menghayati hubungan spiritual dengan Sang Pencipta dan diwujudkan dengan
sikap moral keseharian untuk menghormati sesama makhluk hidup dan alam
sekitar.
Kegiatan wajib
- Guru dan peserta didik berdoa bersama sesuai keyakinan masing-masing, sebelum dan sesudah hari pembelajaran, dipimpin oleh seorang peserta didik secara bergantian di bawah bimbingan guru.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Membiasakan untuk menunaikan ibadah bersama sesuai agama dan kepercayaannya baik dilakukan di sekolah maupun bersama masyarakat.
- Membiasakan perayaan Hari Besar Keagamaan dengan kegiatan yang sederhana dan hikmat.
- Membiasakan siswa menginisiasi dan melakukan kegiatan sosial.
2. Penanaman nilai kebangsaan & kebhinnekaan
Keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk menjalin
dan merekat tenun kebangsaan. Mampu terbuka terhadap perbedaan bahasa,
suku bangsa, agama dan golongan, dipersatukan oleh keterhubungan untuk
mewujudkan tindakan bersama sebagai satu bangsa dan satu tanah air.
Kegiatan wajib
- Melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin dengan mengenakan seragam atau pakaian yang sesuai dengan ketetapan sekolah.
- Melaksanakan upacara bendera pada pembukaan MOPDB untuk jenjang SMP, SMA/SMK.
- Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
- Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu daerah, lagu wajib nasional maupun lagu terkini yang bernuansa patriotik atau cinta tanah air.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Mengenalkan beragam keunikan potensi daerah asal siswa melalui berbagai media dan kegiatan.
- Membiasakan perayaan Hari Besar Nasional dengan mengkaji atau mengenalkan pemikiran dan semangat yang melandasinya melalui berbagai media dan kegiatan.
3. Interaksi positif dengan sesama siswa
Kepedulian terhadap kondisi fisik dan psikologis antar teman sebaya, adik dan kakak kelas.
Kegiatan wajib
- Membiasakan pertemuan di lingkungan sekolah dan/atau rumah untuk belajar kelompok yang diketahui oleh guru dan/atau orangtua.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Gerakan kepedulian kepada sesama warga sekolah dengan menjenguk warga sekolah yang sedang mengalami musibah, seperti sakit, kematian, dan lainnya.
- Gerakan kakak kelas asuh, di mana seorang kakak kelas membimbing seorang adik kelas yang baru masuk ke sekolah.
4. Interaksi positif dengan guru dan orangtua
Interaksi sosial positif antara peserta didik dengan figur orang dewasa
di lingkungan sekolah dan rumah, yaitu mampu dan mau menghormati guru,
kepala sekolah, tenaga kependidikan, warga masyarakat di linglkungan
sekolah dan orang tua, yang sebaliknya menghargai dan menyayangi para
siswa.
Kegiatan wajib
- Sekolah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru untuk mensosialisasikan: a) visi; b) aturan; (c) materi; dan (d) rencana capaian belajar siswa agar orangtua turut mendukung keempat poin tersebut.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Memberi salam, senyum dan sapaan kepada setiap orang di komunitas sekolah.
- Guru dan tenaga kependidikan datang lebih awal untuk menyambut kedatangan peserta didik sesuai dengan tata nilai yang berlaku.
- Membiasakan peserta didik untuk berpamitan dengan orang tua/wali/penghuni rumah saat pergi dan lapor saat pulang, sesuai kebiasaan/ adat yang dibangun masing-masing keluarga.
- Secara bersama peserta didik mengucapkan salam hormat kepada guru sebelum pembelajaran dimulai, dipimpin oleh seorang peserta didik secara bergantian.
5. Penumbuhan potensi unik dan utuh setiap anak
Penghargaan terhadap keunikan dan keutuhan potensi peserta didik untuk
dikembangkan. Mendorong siswa mengembangkan kecakapan dasar serta
minat-bakatnya.
Kegiatan wajib
- Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Peserta didik membiasakan diri untuk memiliki tabungan dalam berbagai bentuk (rekening bank, celengan, dan lainnya).
- Membangun budaya bertanya dan melatih peserta didik mengajukan pertanyaan kritis dan membiasakan siswa mengangkat tangan sebagai isyarat akan mengajukan pertanyaan.
- Membiasakan setiap peserta didik untuk selalu berlatih menjadi pemimpin dengan cara memberikan kesempatan pada setiap siswa tanpa kecuali, untuk memimpin secara bergilir dalam kegiatan-kegiatan bersama/berkelompok.
- Warga sekolah memanfaatkan waktu sebelum memulai hari pelajaran pada hari-hari tertentu (dilaksanakan secara berkala dan rutin) untuk kegiatan olah fisik seperti senam kesegaran jasmani.
- Siswa melakukan kegiatan positif secara berkala sesuai dengan potensi dirinya.
6. Pemeliharaan lingkungan sekolah
Ikut bertanggung jawab memelihara lingkungan sekolah secara
bergotong-royong untuk menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan dan
kenyamanan lingkungan sekolah.
Kegiatan wajib
- Membiasakan penggunaan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dsb) secara efisien melalui berbagai kampanye kreatif dari dan oleh siswa.
- Menyelenggarakan kantin yang memenuhi standar kesehatan. ? Membangun budaya peserta didik untuk selalu menjaga kebersihan di bangkunya masing-masing sebagai bentuk tanggung jawab individu maupun kebersihan kelas dan lingkungan sekolah sebagai bentuk tanggung jawab bersama.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Mengajarkan simulasi antri melalui baris sebelum masuk kelas, dan pada saat bergantian memakai fasilitas sekolah.
- Peserta didik melaksanakan piket kebersihan secara beregu dan bergantian regu.
- Menjaga dan merawat tanaman di lingkungan sekolah, bergilir antar kelas.
- Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat.
7. Pelibatan orangtua dan masyarakat
Penguatan peran orangtua dan unsur masyarakat di sekitar sekolah dengan
melibatkan secara aktif dalam kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku
positif di sekolah.
Kegiatan wajib
- Mengadakan pameran karya siswa pada setiap akhir tahun ajaran dengan mengundang orangtua dan masyarakat untuk memberi apresiasi pada siswa.
Contoh-contoh pembiasaan baik
- Orangtua membiasakan untuk menyediakan waktu 20 menit setiap malam untuk bercengkerama dengan anak mengenai kegiatan di sekolah.
- Sekolah bekerja sama dengan instansi swasta dan organisasi profesi untuk mengenalkan profesi dan kegiatan kemasyarakatan kepada para siswa.
- Masyarakat bekerja sama dengan sekolah untuk mengakomodasi kegiatan kerelawanan oleh peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah yang ada di lingkungan sekitar sekolah.
Perlu diketahui ada 3 jenis kegiatan kurikuler yang terjadi di sekolah yang tertuang dalam program sekolah, yaitu:
A. Kegiatan Intrakurikuler
Kegiatan Intrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekolah yang
sudah teratur, jelas. dan terjadwal dengan sistematik yang merupakan
program utama dalam proses mendidik siswa.
- Contohnya: di tiap sekolah umum pasti ada kegiatan mendidik siswa dengan berbagai mata pelajaran seperti Matematika, PKN, Agama, dan lain sebagainya yang dilaksanakan misalkan pukul 07.00-13.00 dengan ada jeda waktu atau istirahat 2 kali.
B. Kegiatan Ekstrakurikuler
Kegiatan Ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan diluar jam
pelajaran biasa (diluar intrakurikuler), dan kebanyakan materinya pun di
luar materi intrakurikuler, yang berfungsi utamanya untuk
menyalurkan/mengembangkan kemampuan siswa sesuai dengan minat dan
bakatnya, memperluas pengetahuan, belajar bersosilisasi, menambah
keterampilan, mengisi waktu luang, dan lain sebagainya, bisa
dilaksanakan di sekolah ataupun kadang-kadang bisa di luar sekolah.
Dalam melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler ini, ada hal-hal yang harus
diperhatikan, supaya kegiatan ini berlangsung dengan baik, diantaranya:
- Dalam pelaksanaan kegiatannya, hendaknya bisa bermanfaat bagi siswa, baik buat masa kini maupun masa yang akan datang.
- Dalam pelaksanaan kegiatannya, hendaknya tidak membebani bagi siswa.
- Dalam jenis kegiatannya hendaknya bisa memanfaatkan lingkungan sekitar, alam, industri, dan dunia usaha,
- Dalam pelaksanaannya tidak mengganggu kegiatan yang utama, yakni kegiatan intrakurikuler.
C. Kegiatan Nonkurikuler
Kegiatan Nonkurikuler atau Kokurikuler adalah kegiatan yang sangat erat
sekali dan menunjang serta membantu kegiatan intrakurikuler biasanya
dilaksanakan diluar jadwal intrakurikuler dengan maksud agar siswa lebih
memahami dan memperdalam materi yang ada di intrakurikuler, biasanya
kegiatan ini berupa penugasan atau pekerjaan rumah ataupun tindakan
lainnya yang berhubungan dengan materi intrakurikuler yang harus
diselesaikan oleh siswa. Dalam melaksanakan kegiatan Nonkurikuler, ada
hal-hal yang harus diperhatikan, diantaranya:
- Dalam memberikan tugas Nonkurikuler hendaknya jelas dan sesuai dengan pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang sedang diajarkan.
- Dalam memberikan tugas Nonkurikuler seorang guru hendaknya tahu mengenai tingkat kesulitannya bagi siswa sehingga tugas yang diberikan kepada siswa itu sesuai dengan kemampuannya dan tidak memberatkan baik pada fisiknya maupun psikisnya.
- Dalam penilaian tugas Nonkurikuler, hendaknya jelas dan adil sesuai dengan hasil masing-masing kemampuan siswanya.
- Dalam fungsi memberikan tugas Nonkurikuler, hendaknya selain untuk memperdalam pengetahuan siswa, guru juga hendaknya dengan tugas nonkurikuler ini bisa membantu dalam penentuan nilai rapor.
Subscribe to:
Posts (Atom)