Thursday, 23 June 2016

Literasi Sekolah dan Budi Pekerti

Literasi Sekolah dan Budi Pekerti

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mencanangkan gerakan penumbuhan budi pekerti di sekolah. Gerakan ini dianggap sebagai solusi dari sekian persoalan yang ada di pendidikan kita. Pemerintah menilai, persoalan moralitas dan semakin hilangnya budi pekerti yang ada di bangsa ini bisa diselesaikan melalui pendidikan. Karena itulah, program penumbuhan budi pekerti digalakkan di sekolah. Salah satu di antara program penumbuhan budi pekerti di sekolah yakni menciptakan gerakan literasi di sekolah. Melalui aktivitas dan pembiasaan membaca sebelum pelajaran dimulai, anak-anak di ajak untuk menekuni kembali dan dikenalkan kembali kepada aktivitas literasi salah satunya membaca buku.
Buku yang dibaca di antaranya adalah buku cerita rakyat, dongeng dan hikayat yang ada di seluruh nusantara ini. Melalui gerakan membaca itu, anak-anak diharapkan semakin memiliki kecintaan membaca buku. Pasalnya kita tahu, anak-anak kita selama ini lebih asyik dengan aktivitas bermain yang lebih tertantang seperti permainan berbau teknologis ataupun menonton televisi daripada membaca buku. Dokter Spock, MD pakar pendidikan anak dari amerika pernah menuliskan dalam bukunya Pertumbuhan dan Bimbingan bagi kanak-kanak(1961) : “Dahulu dalam waktu jang terluang biasa bermain setjara aktif, dan mereka biasanja lebih suka berlari-lari diluar karena disana lebih banjak kebebasan dan lebih banjak kawan. Sekarang televisi telah mengikat anak2 didalam rumah dan mengikat mereka dengan kursi untuk rata2 duapuluh djam tiap minggunja”.
Hampir di setiap rumah di keluarga kita memiliki televisi. Melalui televisi itulah, ruang bermain anak menjadi semakin sempit. Anak-anak tak lagi banyak menggerakkan tubuh mereka, apalagi pikiran mereka. Sering kali televisi menyedot kesadaran anak-anak kita, sehingga ketika kita memanggil mereka, mereka terkadang tidak menyahut. Hal ini merupakan bukti bahwa kesadaran anak bisa menjadi semakin hilang tatkala mereka terbius oleh tayangan televisi. Bila frekuensi menonton televisi anak-anak kita tidak diatur, tentu aktivitas membaca menjadi semakin minim di rumah-rumah.
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan sebagai sarana penumbuhan budi pekerti yang digagas oleh Kemendikbud menjadi salah satu cara agar anak-anak kita kembali menyenangi buku. Melalui cerita rakyat atau dongeng,serta hikayat masa lampau itulah anak-anak diharapkan semakin bijak dan semakin tumbuh menjadi anak-anak yang beradab. Hal ini tentu juga sejalan dengan apa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang menanamkan adab. Adab disini diartikan sebagai keharusan manusia untuk menuntut ketjerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinja, serta bersama-sama dengan masjarakatnja, jang berada dalam satu lingkungan alam dan zaman (Asas-asas dan Dasar Taman Siswa, 1964).
Kekuatan sekolah untuk membentuk kelakuan seorang anak sampai saat ini masih diakui. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak kita. Melalui sekolah itulah, tanggung jawab guru dan pengelola sekolah amat berat. Sekolah telah menggantikan beban dan tanggung jawab orang tua kita di rumah. Hampir tak bisa dipungkiri, pendidikan resmi di negeri ini masih menjadi pilihan utama sebagian rakyat kita. Karena itulah, tanggung jawab sekolah dalam membina dan mengembangkan budi pekerti anak menjadi penting. Sebab krisis bangsa yang selama ini terjadi salah satunya adalah karena kegagalan kita melahirkan generasi yang beradab dan berbudi pekerti luhur. Menurut Dr. Dzakiah Daradjat (1976) ada lima hal yang menjadi sebab kemerosotan moral yang ada di negeri ini. Pertama, kurangnya pembinaan mental. Kedua, kurangnya pengenalan terhadap nilai moral Pancasila. Ketiga, keguncangan suasana dalam masyarakat. Keempat, kurang jelasnya hari depan di mata anak muda. Kelima, pengaruh kebudayaan asing.
Apa yang dilakukan pemerintah melalui Kemendikbud dengan gerakan literasi sekolah sebagai sarana penumbuhan budi pekerti adalah usaha mengembalikan pendidikan kita kepada kultur. Sebagaimana kultur kita yang khas dengan budaya timur yang lekat dengan adab dan keadaban. Selama ini anak-anak kita justru disuguhi bacaan komik dari asing, hal ini tentu menjadi ironis. Mengingat kita memiliki banyak cerita rakyat dan hikayat yang tak kalah menarik, dan tentu memiliki nilai-nilai moral yang bisa dijadikan pelajaran untuk anak-anak kita.
Tentu kita tahu film anak Pada Jaman Dahulu cerita kancil yang bijak, setidaknya cerita-cerita kancil yang ada di film itu adalah bagian dari khazanah kebudayaan melayu, kebudayaan kita. Teramat sayang bila anak-anak lebih menyukai kartun dan film dari luar yang justru tak lekat dengan nilai-nilai lokalitas dan ajaran moralitas. Sebagai guru dan pengelola sekolah, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengenalkan kembali khazanah kebudayaan kita. Sebab pendidikan kita sejatinya adalah pendidikan nasional yang berdasarkan nilai-nilai kebudayaan nasional pula. Karena itulah, Ki Hajar Dewantara perintis pendidikan nasional kita tak pernah memisahkan antara pendidikan dan kebudayaan. Sebab menjadi manusia terdidik sudah tentu menjadi manusia yang berbudaya.
Tantangan
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud menjadi tantangan bagi guru dan sekolah-sekolah kita. Pasalnya, selama ini kegiatan literasi di sekolah hanya diberi ruang ketika anak-anak istirahat. Bahkan boleh dibilang hampir tidak ada. Majalah dinding dan juga bulletin sekolah selama ini hanya dijadikan sebagai ajang promosi sekolah semata. Padahal, melalui bulletin, majalah dan media sekolah itulah anak-anak bisa belajar berliterasi bersama sekolah. Di samping itu, kita juga dihadapkan oleh kurangnya fasilitas sekolah yang menunjang. Perpustakaan sekolah selama ini kurang mendapat perhatian dari para guru dan pengelola sekolah. Perpustakaan sekolah sering diperbaiki dan direnovasi hanya ketika menjelang akreditasi sekolah. Paska akreditasi sekolah, perpustakaan dibiarkan merana dan mati.
Beberapa fenomena di atas adalah persoalan klasik yang menjadi tantangan dan hambatan bagi gerakan literasi di sekolah kita. Bila sekolah dan pengelola tak mampu untuk mengatasi tantangan tersebut, maka mustahil gerakan literasi dan penumbuhan budi pekerti bisa berjalan dengan baik. Selain itu, gerakan literasi sekolah juga tak bisa dilepaskan dari sumber daya manusia yang ada di sekolah kita. Guru-guru yang enerjik, yang memiliki etos belajar tinggi serta memiliki etos literasi tinggi akan sangat mendukung dalam program ini. Mereka bisa membacakan cerita bersama anak setiap harinya agar anak semakin bijak dan bajik.
Rasanya percuma sekolah memiliki sarana dan fasilitas teknologi yang memadai bila tak didukung oleh sumber daya manusianya utamanya : guru. Guru tetap memegang peranan penting dalam keberhasilan gerakan literasi sekolah. Kita tak bisa memungkiri, kualitas pendidikan kita di masa lampau jauh lebih berkembang dengan didukung oleh kemampuan guru yang begitu fasih dalam hal verbal maupun literal. Kemampuan inilah yang selama ini kurang di guru-guru kita sekarang. Bila guru-guru kita sekarang ini tak memiliki kemampuan verbal dan literal yang baik, tentu program literasi sekolah hanya sekadar mimpi dan cita-cita belaka.  Begitu.